“Aku baik-baik saja
Galih. Sungguh.” Jawabku perlahan berupaya meyakinkan Galih.
Aku terdiam sejenak. Semakin lama aku membisu, semakin Galih
menatap kedua mataku lamat lamat.
Galih, memang hanya
kamu yang benar benar mengerti keadaanku ini!
“Maafkan aku…” Suaraku perlahan lirih dan menyusut. Kedua
mataku yang semula kering mulai basah menahan tangis.
***
Hari itu pukul tujuh lewat lima belas menit.
Dengan penuh gairah, aku yang biasa datang terlambat kali
ini datang lima belas menit lebih cepat dari biasanya. Untuk pertama kalinya
aku tampak percaya diri mengenakan Dress biru
muda dipadu dengan high heels dengan
tinggi 3 cm yang awalnya merupakan musuh terbesarku. Awalnya aku sangat tidak
setuju atas saran mama untuk berpenampilan seperti ini. Namun karena ini adalah
hari special kita,aku memberanikan diri untuk berdamai dengan kedua musuh
terbesarku ini.
Kali pertama dalam hidupku, aku ingin berpenampilan istimewa hanya untuk kamu.
Aku menempati meja yang telah menjadi tempat andalan kita berdua-- pojok kanan dekat jendela. Tempat favorit kita berdua karena merupakan tempat strategis. Pertama,terdapat saklar yang merupakan surga para Mahasiswa. Kedua dapat memperhatikan pemandangan di luar dan orang orang sekitar yang kemudian dapat menjadi bahan obrolan kita.
5 menit ….
10 menit…..
Menunggu memang hal paling membosankan. Baru sepuluh menit aku duduk disini, kakiku sudah gatal rasanya tidak tahan ingin pulang. Namun semakin aku merasa ingin pergi, aku semakin diingatkan akan hari istimewa ini. Aku sesekali memainkan gawai sambil memperhatikan keadaan sekeliling untuk mengatasi jenuh yang sudah mulai hinggap. Di tengah kesibukanku memperhatikan keadaan sekitar, kedua bola mataku berhenti pada satu sosok laki laki bertubuh kurus dan sedikit tinggi mengenakan kemeja berwarna abu abu dan celana jins hitam membawa setangkai bunga merah dan kotak kecil yang dibalut mengenakan kertas kado biru muda.
Iya, laki laki itu
adalah kamu, kamu yang telah lama aku tunggu.
Senyum menghiasi wajah luguku yang terpoles sedikit make up hasil karya mama dan kakak perempuanku. Aku sangat senang sekali ternyata kamu tidak melupakan hari istimewa ini. Kau tampak sempurna sama seperti pada saat pertama kita bertemu dahulu. Kali ini hanya tubuhmu yang bertambah tinggi, namun bagiku kamu masih si jagoanku yang dulu yang selalu saja membelaku di saat teman-teman yang lain mengejek karena aku tidak bisa bermain gundu; yang selalu hadir disaat aku menangis.Senang sekali rasanya, Aku mempersiapkan diri dengan baik; bercermin dan membetulkan rambut yang tidak tertata dengan benar. Setelah usai memperbaiki sedikit tampilanku, aku dibuat bingung oleh tingkahmu yang tidak langsung masuk ke dalam kafe melainkan duduk tepat di kursi depan – seperti sedang menunggu seseorang.
Siapa yang sebenarnya
kau tunggu? Aku disini.
Aku masih memperhatikanmu dari sini. Kau tampak cemas, sambil terus menerus memperhatikan jam hitam yang melingkar manis di jarimu. Tingkahmu membuatku bingung. Tidak tahukah kamu bahwa aku ada disini? Haruskah aku pergi kesana untuk menemuimu? Segala pertanyaan muncul begitu saja dalam otakku. Dengan bimbang, aku memutuskan untuk pergi menghampirimu. Baru hendak meluruskan kaki untuk berdiri, aku melihat seorang perempuan tidak terlalu tinggi mengenakan kaos putih berbalut kemeja biru tua dan celana jins dipadu sepatu converseberwarna abu abumenghampiri tempat dudukmu.
Who is she?
Perempuan itu terlihat sangat manis dengan style yang rada tomboy. Terlihat sederhana tapi berkelas. Rambutnya ia biarkan tergerai, sangat sempurna dengan poni panjang berbelah tengah tengah yang menghiasi wajah ayunya. Sejenak aku mengagumi wanita itu. Ia terlihat cantik tanpa mengenakan Dress dan high heels, terlihat manis walau tanpa riasan make up di wajahnya.
Tapi siapakah dia? Kamu belum pernah menceritakan tentang dia sebelumnya kepadaku. Semakin banyak pertanyaan yang semakin membuat kepalaku berputar.
Dia siapa? Kenapa kamu bawa dia ke hari istimewa kita?Kamu tampak tenang duduk di samping kursiku.
Aku menatapmu dengan tatapan penuh tanya. Kau mengalihkan tatapanku lalu memperkenalkan gadis yang kau bawa, “Agnes Kenalin, nama dia Prisca”.
Prisca menjulurkan kedua tanganya sambil memberikan senyuman
terbaiknya. Aku hanya membalas jabatan tangannya, kemudian menyebutkan namaku. “Dia
siapa,Lih? Kamu belum pernah cerita sebelumnya ke aku.” Tanyaku sinis.
Kamu hanya diam, menundukkan kepala ke bawah. Aku semakin
bingung dibuat olehmu. Perasaan tidak tenang timbul dalam benakku.
Ayo, Galih. Jawab pertanyaan aku. Dia siapa? Aku butuh jawaban darimu.
Ayo, Galih. Jawab pertanyaan aku. Dia siapa? Aku butuh jawaban darimu.
“Jadi, sebenarnya…..” nada suaramu bergetar seperti takut.
Sebenarnya apa? Mengapa semuanya menjadi semakin rumit seperti ini?
“Sebenarnya, aku calon tunangannya Galih” Dengan rasa bangga Prisca menlanjutkan jawabanmu.
Jawaban yang terdengar menusuk; Lebih dalam dari sekedar tertusuk duri.
Kamu mengangkat kepala, mengangguk.
Sekujur tubuhku lemas tak berdaya mendengar hal tersebut.
Aku menggigit bibir sekeras-kerasnya menahan air mata yang sudah siap untuk
tumpah membanjiri wajah yang sudah tidak lagi aku pedulikan. Tanpa pamit, aku
segera keluar dari mengambil tas yang terletak di atas meja kemudian pergi
meninggalkan mereka berdua.
***
Di meja yang sama seperti hari kemarin, aku duduk ditempat biasa. Galih masih sama seperti kebiasaannya dahulu, ia duduk di sebelah kananku. Kami sama sama memesan menu andalan di kafe ini sama seperti biasa, Hot jasmine tea. Semuanya tampak sama, seperti tidak ada yang berubah. Hanya saja, Galih dan aku lebih banyak membisu. Bahkan, dari awal datang aku hanya menundukkan kedua kepalaku.
“Aku dijodohkan oleh kedua orang tuaku.Maafkan aku, Nes. Aku harap kamu bisa ngerti.” Pengakuan kecil Galih memecahkan keheningan di antara kita.
“Kamu baik baik aja kan?”
Aku menghela napas perlahan, “Aku baik-baik aja kok”.
“Aku tahu sebenarnya kamu bohong.” Ujarnya dengan tatapan menyesal.
Ya. Kamu benar Galih. Aku tidak baik-baik saja. Hatiku sungguh sakit. Sakit sekali rasanya!
“Aku baik-baik saja Galih. Sungguh.” Jawabku perlahan berupaya meyakinkan Galih.
Aku terdiam sejenak. Semakin lama aku membisu, semakin Galih menatap kedua mataku lamat lamat.
Galih, memang hanya kamu yang benar benar mengerti keadaanku!
“Maafkan aku…” Suaraku perlahan lirih dan menyusut. Kedua mataku yang semula kering mulai basah menahan tangis.
“Tidak. Kamu tidak salah. Ini semua salahku.” Galih merangkul badan mungilku dengan lengannya yang cukup besar.
STOP, Galih. Berhenti buatku untuk kembali mencintaimu.
“Galih, Berhenti.” Aku melepaskan rangkulan Galih.
Aku harus belajar untuk melupakan hal hal yang berbau tentang Galih, termasuk rangkulan ini. Rangkulan yang dahulu saat aku nantikan, karena kini aku tahu bahwa rangkulannya bukan untukku lagi.
Aku menatap kedua matanya dalam-dalam. “Aku tau bahwa ini sangat berat buatku.” Ucapku dengan suara bergetar.
Aku memalingkan wajah tak sanggup menatap Galih.
“Tapi aku akan belajar untuk berhenti mencintaimu, karena aku sadar…”
Air mataku mengalir dengan derasnya. Aku mengigit keras
keras bibirku yang bergetar, “bahwa kamu memang bukan untukku……….”
“……………….. Aku akan berusaha untuk melupakanmu, Lih. Begitu
lebih baik bukan?”
Perlahan aku memberanikan menatap dirinya. Matanya berkaca-kaca menampilkan sebuah kekecewaan dan penyesalan. Ia mengangkat kedua lengan besarnya, Aku memejamkan kedua mataku, membiarkan tangan dinginnya menghapus air mataku untuk yang terakhir kalinya. Aku diam terpaku di depan lelaki yang dahulu kusebut dengan jagoanku.
Perlahan aku memberanikan menatap dirinya. Matanya berkaca-kaca menampilkan sebuah kekecewaan dan penyesalan. Ia mengangkat kedua lengan besarnya, Aku memejamkan kedua mataku, membiarkan tangan dinginnya menghapus air mataku untuk yang terakhir kalinya. Aku diam terpaku di depan lelaki yang dahulu kusebut dengan jagoanku.
“Cinta bukan hanya perkara memiliki. Tapi mencintai adalah saat kamu dapat berkorban bagi orang kamu cintai.”