Selasa, 21 Februari 2017

Aku baik baik saja



 “Aku baik-baik saja Galih. Sungguh.” Jawabku perlahan berupaya meyakinkan Galih.

Aku terdiam sejenak. Semakin lama aku membisu, semakin Galih menatap kedua mataku lamat lamat.

Galih, memang hanya kamu yang benar benar mengerti keadaanku ini!

“Maafkan aku…” Suaraku perlahan lirih dan menyusut. Kedua mataku yang semula kering mulai basah menahan tangis.
***

Hari itu pukul tujuh lewat lima belas menit.
Dengan penuh gairah, aku yang biasa datang terlambat kali ini datang lima belas menit lebih cepat dari biasanya. Untuk pertama kalinya aku tampak percaya diri mengenakan Dress biru muda dipadu dengan high heels dengan tinggi 3 cm yang awalnya merupakan musuh terbesarku. Awalnya aku sangat tidak setuju atas saran mama untuk berpenampilan seperti ini. Namun karena ini adalah hari special kita,aku memberanikan diri untuk berdamai dengan kedua musuh terbesarku ini.


Kali pertama dalam hidupku, aku ingin berpenampilan istimewa hanya untuk kamu.


Aku menempati meja yang telah menjadi tempat andalan kita berdua-- pojok kanan dekat jendela. Tempat favorit kita berdua karena merupakan tempat strategis. Pertama,terdapat saklar yang merupakan surga para Mahasiswa. Kedua dapat memperhatikan pemandangan di luar dan orang orang sekitar yang kemudian dapat menjadi bahan obrolan kita.

5 menit ….

10 menit…..       


Menunggu memang hal paling membosankan. Baru sepuluh menit  aku duduk disini, kakiku sudah gatal rasanya tidak tahan ingin pulang. Namun semakin aku merasa ingin pergi, aku semakin diingatkan akan hari istimewa ini. Aku sesekali memainkan gawai sambil memperhatikan keadaan sekeliling untuk mengatasi jenuh yang sudah mulai hinggap. Di tengah kesibukanku memperhatikan keadaan sekitar, kedua bola mataku berhenti pada satu sosok laki laki bertubuh kurus dan sedikit tinggi  mengenakan kemeja berwarna abu abu dan celana jins hitam membawa setangkai bunga merah dan kotak kecil yang dibalut mengenakan kertas kado biru muda.


Iya, laki laki itu adalah kamu, kamu yang telah lama aku tunggu.


Senyum menghiasi wajah luguku yang terpoles sedikit make up hasil karya mama dan kakak perempuanku. Aku sangat senang sekali ternyata kamu tidak melupakan hari istimewa ini. Kau tampak sempurna sama seperti pada saat pertama kita bertemu dahulu. Kali ini hanya tubuhmu yang bertambah tinggi, namun bagiku kamu masih si jagoanku yang dulu yang selalu saja membelaku di saat teman-teman yang lain mengejek karena aku tidak bisa bermain gundu; yang selalu hadir disaat aku menangis.Senang sekali rasanya, Aku mempersiapkan diri dengan baik; bercermin dan membetulkan rambut yang tidak tertata dengan benar. Setelah usai memperbaiki sedikit tampilanku, aku dibuat bingung oleh tingkahmu yang tidak langsung masuk ke dalam kafe melainkan duduk tepat di kursi depan – seperti sedang menunggu seseorang.


Siapa yang sebenarnya kau tunggu? Aku disini.


Aku masih memperhatikanmu dari sini. Kau tampak cemas, sambil terus menerus memperhatikan jam hitam yang melingkar manis di jarimu. Tingkahmu membuatku bingung. Tidak tahukah kamu bahwa aku ada disini? Haruskah aku pergi kesana untuk menemuimu? Segala pertanyaan muncul begitu saja dalam otakku. Dengan bimbang, aku memutuskan untuk pergi menghampirimu. Baru hendak meluruskan kaki untuk berdiri, aku melihat seorang perempuan tidak terlalu tinggi mengenakan kaos putih berbalut kemeja biru tua dan celana jins dipadu sepatu converseberwarna abu abumenghampiri tempat dudukmu.


Who is she?


Perempuan itu terlihat sangat manis dengan style yang rada tomboy. Terlihat sederhana tapi berkelas. Rambutnya ia biarkan tergerai, sangat sempurna dengan poni panjang berbelah tengah tengah yang menghiasi wajah ayunya. Sejenak aku mengagumi wanita itu. Ia terlihat cantik tanpa mengenakan Dress dan high heels, terlihat manis walau tanpa riasan make up di wajahnya. 


Tapi siapakah dia? Kamu belum pernah menceritakan tentang dia sebelumnya kepadaku. Semakin banyak pertanyaan yang semakin membuat kepalaku berputar.


Dia siapa? Kenapa kamu bawa dia ke hari istimewa kita?Kamu tampak tenang duduk di samping kursiku. 


Aku menatapmu dengan tatapan penuh tanya. Kau mengalihkan tatapanku lalu memperkenalkan gadis yang kau bawa, “Agnes Kenalin, nama dia Prisca”.
Prisca menjulurkan kedua tanganya sambil memberikan senyuman terbaiknya. Aku hanya membalas jabatan tangannya, kemudian menyebutkan namaku. “Dia siapa,Lih? Kamu belum pernah cerita sebelumnya ke aku.” Tanyaku sinis.
Kamu hanya diam, menundukkan kepala ke bawah. Aku semakin bingung dibuat olehmu. Perasaan tidak tenang timbul dalam benakku.


Ayo, Galih. Jawab pertanyaan aku. Dia siapa? Aku butuh jawaban darimu.



“Jadi, sebenarnya…..” nada suaramu bergetar seperti takut.


Sebenarnya apa? Mengapa semuanya menjadi semakin rumit seperti ini?


“Sebenarnya, aku calon tunangannya Galih” Dengan rasa bangga Prisca menlanjutkan jawabanmu.




Jawaban yang terdengar menusuk; Lebih dalam dari sekedar tertusuk duri.

Kamu mengangkat kepala, mengangguk.
Sekujur tubuhku lemas tak berdaya mendengar hal tersebut. Aku menggigit bibir sekeras-kerasnya menahan air mata yang sudah siap untuk tumpah membanjiri wajah yang sudah tidak lagi aku pedulikan. Tanpa pamit, aku segera keluar dari mengambil tas yang terletak di atas meja kemudian pergi meninggalkan mereka berdua.
***


Di meja yang sama seperti hari kemarin, aku duduk ditempat biasa. Galih masih sama seperti kebiasaannya dahulu, ia duduk di sebelah kananku. Kami sama sama memesan menu andalan di kafe ini sama seperti biasa, Hot jasmine tea. Semuanya tampak sama, seperti tidak ada yang berubah. Hanya saja, Galih dan aku lebih banyak membisu. Bahkan, dari awal datang aku hanya menundukkan kedua kepalaku.

“Aku dijodohkan oleh kedua orang tuaku.Maafkan aku, Nes. Aku harap kamu bisa ngerti.” Pengakuan kecil Galih memecahkan keheningan di antara kita.

“Kamu baik baik aja kan?”

Aku menghela napas perlahan, “Aku baik-baik aja kok”.

Aku tahu sebenarnya kamu bohong.” Ujarnya dengan tatapan menyesal.


Ya. Kamu benar Galih. Aku tidak baik-baik saja. Hatiku sungguh sakit. Sakit sekali rasanya!



 “Aku baik-baik saja Galih. Sungguh.” Jawabku perlahan berupaya meyakinkan Galih.


Aku terdiam sejenak. Semakin lama aku membisu, semakin Galih menatap kedua mataku lamat lamat.


Galih, memang hanya kamu yang benar benar mengerti keadaanku!



“Maafkan aku…” Suaraku perlahan lirih dan menyusut. Kedua mataku yang semula kering mulai basah menahan tangis.


“Tidak. Kamu tidak salah. Ini semua salahku.”  Galih merangkul badan mungilku dengan lengannya yang cukup besar.



STOP, Galih. Berhenti buatku untuk kembali mencintaimu.


“Galih, Berhenti.” Aku melepaskan rangkulan Galih.


Aku harus belajar untuk melupakan hal hal yang berbau tentang Galih, termasuk rangkulan ini. Rangkulan yang dahulu saat aku nantikan, karena kini aku tahu bahwa rangkulannya bukan untukku lagi.

Aku menatap kedua matanya dalam-dalam. “Aku tau bahwa ini sangat berat buatku.” Ucapku dengan suara bergetar.
Aku memalingkan wajah tak sanggup menatap Galih.

“Tapi aku akan belajar untuk berhenti mencintaimu, karena aku sadar…”
Air mataku mengalir dengan derasnya. Aku mengigit keras keras bibirku yang bergetar, “bahwa kamu memang bukan untukku……….”
“……………….. Aku akan berusaha untuk melupakanmu, Lih. Begitu lebih baik bukan?”

Perlahan aku memberanikan menatap dirinya. Matanya berkaca-kaca menampilkan sebuah kekecewaan dan penyesalan. Ia mengangkat kedua lengan besarnya, Aku memejamkan kedua mataku, membiarkan tangan dinginnya menghapus air mataku untuk yang terakhir kalinya. Aku diam terpaku di depan lelaki yang dahulu kusebut dengan jagoanku.


“Cinta bukan hanya perkara memiliki. Tapi mencintai adalah saat kamu dapat berkorban bagi orang kamu cintai.”
Aku menghela napas panjang, “Jaga dia baik baik ya, Lih.” Ucapan terakhirku sebelum akhirnya berdiri dan membalikkan badanku. Aku setengah kecil berlari meninggalkan Galih dan seluruh kenangan bersamanya.


Rabu, 08 Februari 2017

Cara terbaik untuk jatuh hati





 
Cara terbaik untuk jatuh hati

Tak perlu waktu yang lama untuk membuat hatiku jatuh kepadamu. Pertemuan singkat tanpa disengaja menjadi pintu masuknya aku ke dalam dunia yang disebut “Cinta”. Indah memang, namun juga penuh dengan lika-liku.
Saat itu istirahat pertama, saat yang paling dinantikan oleh sejuta umat berseragam sekolah--terlebih bagi mereka yang sedang terkena pelajaran guru killer. Tanpa ragu aku beserta sahabatku yang lain setengah berlari menghampiri kantin sekolah. Dengan wajah sedikit lemas dan tawa kecil karena guyonan kilat yang sering hinggap dikala obrolan tak penting, kami melewati lapangan olahraga yang sedang ramai penghuni. Sepasang mataku dengan polosnya memperhatikan kerumunan siswa laki-laki berseragamkan SMA yang tengah sibuk mengejar dan dikejar demi sebuah  bola yang sering disebut basket. Tanpa bertanya pada mereka, orang lain pasti setuju bila pesonamu lah yang paling menarik diantara yang lain. Senyum bahagia yang tak sengaja tertangkap saat kau berhasil memasukkan bola ke dalam ring membuat mata ini ingin berlama lama untuk memandangnya. Enggan rasanya untuk pergi namun panggilan alam mengusik mata untuk berhenti mengulik orang itu. Cacing di dalam perutku yang penuh ego dan tidak sabaran segera bernyanyi dengan nyaring meminta untuk segera dipuaskan hasratnya.  Dengan penuh ketidakrelaan aku mempercepat langkahku untuk mencegah kerumunan cacing ini lebih mengamuk.
Semenjak hari itu aku mulai disibukkan dengan kegiatan tentangmu; dimulai dengan ingin mencari tahu siapa namamu sampai ke hal-hal yang orang lain tidak ketahui. Aku masuk ke dalam tahap PENASARAN.  Tahap yang sangat aku sukai.
 Aku yang termaksud tidak terlalu begitu suka memperhatikan orang sekitar, Setengah mati mencari siasat bagaimana cara untuk mengetahui namamu. Dimulai dengan melihat badge nama yang tertera di dada kanan seragam osismu. Percobaan pertama dan kedua gagal. Percobaan ketiga aku hanya mendapat nama depanmu saja. Aku cukup senang saat itu karena langkahku untuk mengenalmu semakin dekat. Aku terus coba lagi,dan lagi karena aku bukan wanita lemah yang mudah menyerah. Aku terus mencoba siasat itu sampai akhirnya aku akan berhasil  mendapatkan namamu. Setelah kegagalan ke sekian kali, aku akhirnya tahu namamu dengan menebak-nebak setiap huruf yang kudapat di setiap percobaan. YEAY! Aku senang sekali waktu itu. Segera aku mencari namamu pada kotak pencarian di salah satu media sosial yang sedang hits saat itu. Namun  di luar ekspektasi, hasilnya nihil.
Menyerah? Maaf aku tidak mengenal kata itu. Aku masih tetap degil, ingin mencari tahu namamu. Siasat pertama boleh jadi kurang mujur, lalu aku pun memutar otak mencari siasat berikutnya. Pagi, siang, sore  bahkan sebelum tidur pun, dengan begitu semangat  berfikir mencari ide yang dapat aku gunakan untuk tujuan awalku. Bak ditimpa durian runtuh, saat sedang mengerjakan tugas fisika di tengah kerumunan kelas yang gaduh, ide segar datang menghampiri aku yang tengah memain mainkan pensil sambil diketuk ketukan di dekat dahi. Dengan penuh percaya diri untuk mencoba siasat kedua; Mencari tahu namanya lewat buku absen kelas. Bermodalkan huruf yang telah didapat dari percobaan  sebelumnya.
Satu per satu kelas, kamu. Iya. Hanya untuk mencari tahu namamu.
Hari itu tepatnya hari Sabtu, hari dimana siswa - siswa lain mungkin masih terlelap dalam mimpinya. Maklum saja, hari ini adalah hari libur. Hanya demi mencari namamu, aku yang biasanya selalu telat dalam kerja kelompok rela untuk datang dua jam lebih pagi. Dengan mengebu-gebu aku ditemani dengan sahabatku menyusuri satu per satu kelas, menelisik ke dalam setiap buku absen yang ada. Menyusuri deretan nama yang tertera, berharap untuk menemukan kunci yang selama ini aku cari.
BOOM!
Betapa dewi fortuna berpihak padaku hari ini. Saat sahabatku sudah mengomel karena belum juga menemukan namamu, hatiku terus ingin bergerak memasuki ruangan kelas yang terletak di paling ujung koridor . Dengan memberanikan diri dan mengabaikan keluhan sahabatku, aku menerobos masuk ruang kelas yang tidak terkunci. Di dalam buku absen biru yang disampul bening rapih, mataku tertuju pada satu nama yang sangat aku yakini bahwa itu adalah kamu.           
 Senyummu adalah candu bagiku. Yang selalu memaksaku untuk terus memandangmu tanpa jemu. Kesederhanaanmu  berhasil menjeratku, hingga sekarang.

Aku tidak tahu apakah ini yang namanya Cinta, yang aku ketahui hanyalah aku mencintaimu sejak pertama kali kita bertemu.

Dan mataku tidak dapat berpaling selain dari padamu.

 Kau lihat? Hanya perlu beberapa detik bagiku untuk jatuh hati padamu. Berawal dari senyuman lembut yang mampu membuat jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Cinta? Terlalu dini sepertinya untuk anak berseragam putih biru seperti aku saat itu. Atau mungkin saat itu aku hanya terobsesi. Obsesi yang keblablasan hingga sekarang.  

 -------------------------------------------------------------------




jangan lupa follow twitter gua ya gengs : @annatheresia_