Tabur-Tuai
Kehidupan
Sekolah Menengah Atas Sion adalah
sekolah swasta yang cukup terkenal di kotaku. Sekolah ini terkenal dengan murid-muridnya
yang selalu menjuarai kompetisi baik akademik maupun non akademik. Sekolah ini berdiri
sejak tahun 2009 dan telah mengalami banyak transformasi sejak pembangunan yang
pertama. Mulai dari gedung yang tidak bertingkat dan hanya memiliki beberapa
ruang kelas hingga menjadi sekolah yang bertingkat empat dengan sudah memiliki 28
ruang kelas dan ruang-ruang fasilitas yang mendukung pembelajaran, seperti
laboratorium komputer, laboratorium fisika, dan ruang fasilitas lainnya. Bersekolah
di sekolah ini sudah menjadi mimpi besar bagiku sedari dulu. Jika bukan karena
beasiswa, mungkin aku tidak akan dapat menginjakkan kakiku di sini hingga aku
mencapai tingkat paling akhir yaitu tingkat tiga.
Senin
pagi adalah hari rutin untuk upacara. Dengan mengenakan seragam putih abu-abu lengkap
dengan topi, dasi dan tali pinggang aku berdiri tegak, berbaris rapi dan siap
untuk mengikuti rangkaian kegiatan upacara. Aku memperhatikan para petugas
upacara yang sedang bersiap mempersiapkan upacara yang akan segera dimulai.
Mereka juga mengenakan seragam lengkap seperti yang kugunakan saat ini. Para
petugas perempuan juga mengenakan sedikit make up sehingga terlihat
sangat segar.
“Heh,
gua enggak mau ya berdiri di sebelah anak tukang bakso!” Gerutu Gita dengan
tiga sahabat yang ada di dekatnya. Perkataan Gita sontak membuatku terkejut
dan menundukkan kepala. Tidak ada yang bisa aku lakukan selain diam dan
menundukkan kepalaku. Gita adalah teman sekelasku sedari aku kelas 10 dulu.
Sudah menjadi kebiasaannya untuk mengolok-olokku. Awalnya aku sangat sedih dan
kesal tetapi aku sadar tidak bisa melawan. Jika aku melawan, beasiswaku
kemungkinan bisa dicabut karena ayahnya adalah donatur terbesar di sekolah ini.
Jadi aku memilih mengalahkan egoku untuk tidak melawannya.
“Udah Git, daripada nanti kita ketularan bau bakso kita mendingan jauh-jauh dari
dia.” Gita dan genk-nya akhirnya pergi melengos dengan tatapan sinis.
Aku yang tidak bisa melawan hanya memperhatikan saja dari jauh. Terkadang aku
tidak mengerti mengapa mereka berlaku demikian terhadapku. Memang apa salahnya
jika mempunyai ayah tukang bakso? Ayahku memang tukang bakso tapi aku tidak
pernah malu sedikit pun. Aku bangga kepada ayahku karena dari hasilnya
berjualan bakso tersebutlah ayahku bisa menghidupi aku, ibu dan satu adikku.
Aku
menyadari perubahan perilaku Gita semenjak aku berhasil menggeser posisinya dan mendapatkan peringkat satu umum pada kelas 1 semester akhir.
Semenjak ia tidak lagi memegang gelar sebagai peringkat satu umum, ia bersama
dengan genk-nya selalu mengolok-olokku. Apa pun yang aku lakukan tidak
ada yang baik menurutnya. Aku pernah membuat surat permohonan maafku meskipun
aku sendiri tidak mengetahui kesalahanku. Akan tetapi, bukannya maaf yang
kuterima malah surat itu menjadi bumerang bagi diriku sendiri. Gita tidak memaafkanku
bahkan dia menjadikan surat itu senjatanya untuk semakin mengolok-olokku.
Sepulang
sekolah, aku diberitahu ibu bahwa ayah sedang berada di Rumah Sakit. Bukan
karena ayah sakit tetapi karena ayah sedang membantu orang yang mengalami
tabrak lari. Aku semakin bangga kepada ayahku sendiri. Baik sekali ayahku mau
mengorbankan waktunya untuk membantu orang lain. Setelah makan siang, aku
beserta ibu dan adikku bergegas menyusul ayah yang berada di Rumah Sakit untuk
mengantarkan makan siang.
“Yah,
Bapak itu kenapa bisa ditabrak lari?” tanyaku kepada ayah yang sedang meneguk
air putih yang kami bawakan untukknya.
“Setahu
ayah tadi Bapak ini nyebrang jalan sambil nelfon, dari belakang
ada motor ngebut. Terus bapak ini ketabrak eh motor yang nabrak
malah lari gak mau tanggung-jawab. Ayah gak sempat perhatikan
nomor polisi motornya tadi.” Jawab Ayah.
“Keluarganya
sudah tahu, Yah?”
“Sudah,
tadi sudah dihubungi sama pihak Rumah Sakit”
Aku
mengangguk pelan. Ada dua wanita memasuki ruang tempat kami menunggu. Satu
wanita paruh baya, dan satunya lagi seumuran denganku. Aku mengenal siapa
wanita yang seumuran denganku itu. Bahkan amat sangat mengenalnya. Dialah Gita, orang yang gemar mengolok-olokku. Wajahnya sangat terkejut melihat
keberadaanku di sana. Tanpa menegurku, ia menghampiri ayahnya yang sedang
terbujur lemah di atas matras rumah sakit. Air matanya tumpah. Baru kali ini
aku melihatnya menangis. Orang pintar, dan paling jago meremehkan orang lain
ternyata bisa juga menangis.
“Bu,
maaf. Karena sudah ada keluarga bapak ini, saya dan keluarga saya mau pamit
pulang.” Sapa ayahku kepada wanita yang kutebak adalah mamanya Gita.
“Terima
kasih banyak ya Pak atas bantuan bapak.” Sahut wanita tersebut. Ia mengeluarkan
amplop coklat dan menyerahkannya ke ayah ,“Ini buat Bapak.”
Ayah
menolak dengan halus, “Tidak usah, Bu. Kami tulus hati mau menolong bapak ini.
Bukan karena imbalan.”
“Ini
pak terima saja. Ini bentuk ucapan terima kasih kami.”
“Tidak
usah, Bu. Kami sangat ikhlas membantu keluarga Ibu. Kami pamit pulang ya, Bu.”
Jawab ayah dan kami sekeluarga pun keluar dari ruangan tersebut.
Aku
semakin mengagumi ayahku. Betapa aku bangga memiliki ayah yang dengan tulus
hati mau mengorbankan waktunya menolong orang yang kesusahan dan menolak untuk
diberikan imbalan. Meskipun ayah tidak mengenal orang tersebut. Jika aku di
posisi ayah, belum tentu aku berlaku demikian. Apalagi tahu bahwa yang akan aku
tolong adalah orang yang sering mengolok-olokku. Tapi, aku belajar dari ayahku
untuk berbuat kebaikan kepada siapa pun orangnya.
Sekolah hari ini memang tampak
seperti hari biasanya. Tapi aku tidak pernah merasa begitu gembira seperti hari ini. Tadi
sepulang sekolah Gita mendatangiku. Aku awalnya takut dan mengira bahwa ia
akan mengolok-olokku lagi. Ternyata, sangat di luar dugaan. Gita mengulurkan
tangan kanannya ke hadapanku dan ia meminta maaf atas perbuatan yang selama ini
ia lakukan. Aku sangat terkejut melihat perubahan perilakunya yang sangat
drastis. Kami pun akhirnya berjabat tangan dan saling berpelukan layaknya
seorang saudara. Betapa senangnya hatiku!
Tidak ada yang bisa menduga
peristiwa yang terjadi di dalam hidup ini. Aku tidak akan pernah menyangka
bahwa ayahku yang menjadi bahan olok-olokan Gita akan menolong Ayahnya
sendiri. Aku juga tidak akan pernah menyangka bahwa peristiwa tersebut akan membuat Gita meminta maaf dan berjanji tidak akan berlaku buruk lagi kepadaku. Dunia
memang tidak pernah bisa ditebak! Tapi, terima kasih, Yah! Kau mengajarkan satu
nilai penting dalam hidupku. Nilai itu adalah kebaikan. Aku akan belajar untuk
berbuat baik kepada siapa pun dan dimana pun.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kebaikan adalah kewajiban yang harus kita jalankan, kepada siapa pun dan dimana pun. Kebaikan bukan menandakan bahwa kita kuat. Justru dengan berbuat kebaikan menandakan bahwa sebetulnya kita adalah manusia lemah yang membutuhkan pertolongan. Sesungguhnya kita bisa berbuat baik bukan karena apa yang kita miliki, tetapi dari apa yang kita peroleh. Tanpa terlebih dahulu menerima kebaikan, kita tidak akan pernah bisa berbuat baik. Kebaikan yang kita terima itu adalah kebaikan kekal yang dari pada Allah sendiri. Oleh sebab itu, tidak ada alasan bagi kita untuk tidak berbuat baik.
Selamat
berbuat kebaikan!
Ada kisah menarik yang
bisa dibagikan tentang berbuat baik atau menerima kebaikan?
Silahkan share !
Tidak ada salahnya
membagikan pengalaman hidup yang kemudian dapat memberkati orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar