Selasa, 10 Desember 2019

Tabur-Tuai Kehidupan


Tabur-Tuai Kehidupan

            Sekolah Menengah Atas Sion adalah sekolah swasta yang cukup terkenal di kotaku. Sekolah ini terkenal dengan murid-muridnya yang selalu menjuarai kompetisi baik akademik maupun non akademik. Sekolah ini berdiri sejak tahun 2009 dan telah mengalami banyak transformasi sejak pembangunan yang pertama. Mulai dari gedung yang tidak bertingkat dan hanya memiliki beberapa ruang kelas hingga menjadi sekolah yang bertingkat empat dengan sudah memiliki 28 ruang kelas dan ruang-ruang fasilitas yang mendukung pembelajaran, seperti laboratorium komputer, laboratorium fisika, dan ruang fasilitas lainnya. Bersekolah di sekolah ini sudah menjadi mimpi besar bagiku sedari dulu. Jika bukan karena beasiswa, mungkin aku tidak akan dapat menginjakkan kakiku di sini hingga aku mencapai tingkat paling akhir yaitu tingkat tiga.
Senin pagi adalah hari rutin untuk upacara. Dengan mengenakan seragam putih abu-abu lengkap dengan topi, dasi dan tali pinggang aku berdiri tegak, berbaris rapi dan siap untuk mengikuti rangkaian kegiatan upacara. Aku memperhatikan para petugas upacara yang sedang bersiap mempersiapkan upacara yang akan segera dimulai. Mereka juga mengenakan seragam lengkap seperti yang kugunakan saat ini. Para petugas perempuan juga mengenakan sedikit make up sehingga terlihat sangat segar.
Heh, gua enggak mau ya berdiri di sebelah anak tukang bakso!” Gerutu Gita dengan tiga sahabat yang ada di dekatnya. Perkataan Gita sontak membuatku terkejut dan menundukkan kepala. Tidak ada yang bisa aku lakukan selain diam dan menundukkan kepalaku. Gita adalah teman sekelasku sedari aku kelas 10 dulu. Sudah menjadi kebiasaannya untuk mengolok-olokku. Awalnya aku sangat sedih dan kesal tetapi aku sadar tidak bisa melawan. Jika aku melawan, beasiswaku kemungkinan bisa dicabut karena ayahnya adalah donatur terbesar di sekolah ini. Jadi aku memilih mengalahkan egoku untuk tidak melawannya.
Udah Git, daripada nanti kita ketularan bau bakso kita mendingan jauh-jauh dari dia.” Gita dan genk-nya akhirnya pergi melengos dengan tatapan sinis. Aku yang tidak bisa melawan hanya memperhatikan saja dari jauh. Terkadang aku tidak mengerti mengapa mereka berlaku demikian terhadapku. Memang apa salahnya jika mempunyai ayah tukang bakso? Ayahku memang tukang bakso tapi aku tidak pernah malu sedikit pun. Aku bangga kepada ayahku karena dari hasilnya berjualan bakso tersebutlah ayahku bisa menghidupi aku, ibu dan satu adikku.
Aku menyadari perubahan perilaku Gita semenjak aku berhasil menggeser posisinya dan mendapatkan peringkat satu umum pada kelas 1 semester akhir. Semenjak ia tidak lagi memegang gelar sebagai peringkat satu umum, ia bersama dengan genk-nya selalu mengolok-olokku. Apa pun yang aku lakukan tidak ada yang baik menurutnya. Aku pernah membuat surat permohonan maafku meskipun aku sendiri tidak mengetahui kesalahanku. Akan tetapi, bukannya maaf yang kuterima malah surat itu menjadi bumerang bagi diriku sendiri. Gita tidak memaafkanku bahkan dia menjadikan surat itu senjatanya untuk semakin mengolok-olokku.  
Sepulang sekolah, aku diberitahu ibu bahwa ayah sedang berada di Rumah Sakit. Bukan karena ayah sakit tetapi karena ayah sedang membantu orang yang mengalami tabrak lari. Aku semakin bangga kepada ayahku sendiri. Baik sekali ayahku mau mengorbankan waktunya untuk membantu orang lain. Setelah makan siang, aku beserta ibu dan adikku bergegas menyusul ayah yang berada di Rumah Sakit untuk mengantarkan makan siang.
“Yah, Bapak itu kenapa bisa ditabrak lari?” tanyaku kepada ayah yang sedang meneguk air putih yang kami bawakan untukknya.
“Setahu ayah tadi Bapak ini nyebrang jalan sambil nelfon, dari belakang ada motor ngebut. Terus bapak ini ketabrak eh motor yang nabrak malah lari gak mau tanggung-jawab. Ayah gak sempat perhatikan nomor polisi motornya tadi.” Jawab Ayah.
“Keluarganya sudah tahu, Yah?”
“Sudah, tadi sudah dihubungi sama pihak Rumah Sakit”
Aku mengangguk pelan. Ada dua wanita memasuki ruang tempat kami menunggu. Satu wanita paruh baya, dan satunya lagi seumuran denganku. Aku mengenal siapa wanita yang seumuran denganku itu. Bahkan amat sangat mengenalnya. Dialah Gita, orang yang gemar mengolok-olokku. Wajahnya sangat terkejut melihat keberadaanku di sana. Tanpa menegurku, ia menghampiri ayahnya yang sedang terbujur lemah di atas matras rumah sakit. Air matanya tumpah. Baru kali ini aku melihatnya menangis. Orang pintar, dan paling jago meremehkan orang lain ternyata bisa juga menangis.
“Bu, maaf. Karena sudah ada keluarga bapak ini, saya dan keluarga saya mau pamit pulang.” Sapa ayahku kepada wanita yang kutebak adalah mamanya Gita.
“Terima kasih banyak ya Pak atas bantuan bapak.” Sahut wanita tersebut. Ia mengeluarkan amplop coklat dan menyerahkannya ke ayah ,“Ini buat Bapak.”
Ayah menolak dengan halus, “Tidak usah, Bu. Kami tulus hati mau menolong bapak ini. Bukan karena imbalan.”
“Ini pak terima saja. Ini bentuk ucapan terima kasih kami.”
“Tidak usah, Bu. Kami sangat ikhlas membantu keluarga Ibu. Kami pamit pulang ya, Bu.” Jawab ayah dan kami sekeluarga pun keluar dari ruangan tersebut.
Aku semakin mengagumi ayahku. Betapa aku bangga memiliki ayah yang dengan tulus hati mau mengorbankan waktunya menolong orang yang kesusahan dan menolak untuk diberikan imbalan. Meskipun ayah tidak mengenal orang tersebut. Jika aku di posisi ayah, belum tentu aku berlaku demikian. Apalagi tahu bahwa yang akan aku tolong adalah orang yang sering mengolok-olokku. Tapi, aku belajar dari ayahku untuk berbuat kebaikan kepada siapa pun orangnya.
            Sekolah hari ini memang tampak seperti hari biasanya. Tapi aku tidak pernah merasa begitu gembira seperti hari ini. Tadi sepulang sekolah Gita mendatangiku. Aku awalnya takut dan mengira bahwa ia akan mengolok-olokku lagi. Ternyata, sangat di luar dugaan. Gita mengulurkan tangan kanannya ke hadapanku dan ia meminta maaf atas perbuatan yang selama ini ia lakukan. Aku sangat terkejut melihat perubahan perilakunya yang sangat drastis. Kami pun akhirnya berjabat tangan dan saling berpelukan layaknya seorang saudara. Betapa senangnya hatiku!
            Tidak ada yang bisa menduga peristiwa yang terjadi di dalam hidup ini. Aku tidak akan pernah menyangka bahwa ayahku yang menjadi bahan olok-olokan Gita akan menolong Ayahnya sendiri. Aku juga tidak akan pernah menyangka bahwa peristiwa tersebut akan membuat Gita meminta maaf dan berjanji tidak akan berlaku buruk lagi kepadaku. Dunia memang tidak pernah bisa ditebak! Tapi, terima kasih, Yah! Kau mengajarkan satu nilai penting dalam hidupku. Nilai itu adalah kebaikan. Aku akan belajar untuk berbuat baik kepada siapa pun dan dimana pun.    


---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kebaikan adalah kewajiban yang harus kita jalankan, kepada siapa pun dan dimana pun. Kebaikan bukan menandakan bahwa kita kuat. Justru dengan berbuat kebaikan menandakan bahwa sebetulnya kita adalah manusia lemah yang membutuhkan pertolongan. Sesungguhnya kita bisa berbuat baik bukan karena apa yang kita miliki, tetapi dari apa yang kita peroleh. Tanpa terlebih dahulu menerima kebaikan, kita tidak akan pernah bisa berbuat baik. Kebaikan yang kita terima itu adalah kebaikan kekal yang dari pada Allah sendiri. Oleh sebab itu, tidak ada alasan bagi kita untuk tidak berbuat baik. 


Selamat berbuat kebaikan!

Ada kisah menarik yang bisa dibagikan tentang berbuat baik atau menerima kebaikan?
Silahkan share !
Tidak ada salahnya membagikan pengalaman hidup yang kemudian dapat memberkati orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar